UTS 3 — Diriku Sepuluh Tahun Lagi
Sepuluh tahun ke depan, aku membayangkan diriku duduk di ruang kerja yang tenang. Di luar jendela, kota terlihat masih sibuk, tetapi aku tidak lagi terburu-buru seperti dulu. Di meja, ada secangkir kopi yang aromanya sudah sedikit hilang karena seperti biasa, aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri.
Aku bekerja di sebuah perusahaan besar, mungkin BUMN, mungkin juga perusahaan teknologi yang sedang tumbuh. Entahlah. Yang pasti, tempatku sekarang adalah hasil dari perjalanan panjang yang dulu terasa tidak akan pernah selesai. Aku masih ingat bagaimana rasanya begadang mengerjakan proposal, berdebat dengan teman satu tim, dan menatap layar laptop sambil berpikir, “Apa ini benar-benar masa depan yang aku mau?”
Ternyata, iya. Tapi tidak sepenuhnya. Karena hidupku tidak berhenti di pekerjaan itu saja. Di balik kesibukan kantor, aku juga menjalankan beberapa bisnis yang bekerja dengan sistem autopilot. Aneh rasanya melihat sesuatu yang dulu hanya berupa ide iseng kini bisa berjalan sendiri, menghasilkan uang bahkan ketika aku sedang tidur. Kadang aku tertawa kecil bukan karena sombong, tetapi karena masih sulit dipercaya bahwa semua itu benar-benar terjadi.
Tabunganku, jika dihitung, sebenarnya sudah cukup untuk menikah sejak lima tahun lalu. Namun, aku memilih menunggu. Bukan karena takut, bukan pula karena tidak ada yang mau. Aku hanya ingin menikah ketika hati sudah benar-benar siap, bukan ketika kalender bilang sudah waktunya. Lagipula, hidup tidak perlu dikejar-kejar seperti tenggat tugas kuliah.
Sekarang aku lebih tenang. Masalah tetap datang, tentu saja. Bedanya, kalau dulu setiap hal kecil bisa membuatku panik, kini aku lebih bisa menertawakannya. Aku belajar bahwa sebagian besar masalah tidak butuh solusi instan, cukup butuh waktu, dan kadang, secangkir kopi yang benar-benar hangat.
Namun di balik semua itu, ada satu hal yang masih menjadi tujuan akhirku: mendaki Gunung Everest. Aku tidak tahu kapan, tetapi aku tahu itu akan terjadi. Bagi orang lain, mungkin itu hanya tentang menaklukkan gunung tertinggi di dunia. Tapi bagiku, itu tentang menaklukkan diriku sendiri, rasa takut, rasa lelah, dan semua alasan yang dulu membuatku berhenti di tengah jalan.
Mungkin nanti, ketika aku sudah sampai di puncak itu, aku akan menatap langit yang jauh dan tertawa pelan. “Dulu aku stres karena kuis Fisika Dasar, sekarang aku stres karena oksigen tinggal setengah.”
Dan mungkin di situlah aku akan sadar, hidup ini sama seperti mendaki gunung, bukan tentang seberapa cepat kita sampai di puncak, melainkan tentang bagaimana kita menikmati setiap langkahnya, meski napas kadang tersengal dan humor receh jadi satu-satunya hal yang membuat kita bertahan.
Karena pada akhirnya, menjadi dewasa bukan berarti kehilangan sisi konyol dalam diri, melainkan tahu kapan harus terlihat serius dan kapan boleh menertawakan hidup, bahkan di ketinggian delapan ribu meter.
II2100 Komunikasi Interpersonal dan Publik
← Balik ke Halaman Utama